🎯 Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande

Ceritarakyat sulawesi selatan nenek pande. Nenek pakande adalah seorang nenek siluman yang sering menjadi momok bagi masyarakat bugis di daerah soppeng, sulawesi selatan. Cerita Dongeng Ikan Paus Oleh karenanya, cerita dongeng Kisah tentang nenek pakande ini merupakan cerita rakyat yang berasal dari kabupaten sopeng provinsi sulawesi selatan. TarianPitu atau dalam bahasa Toraja disebut sebagai Ra' Pitu merupakan 7 (tujuh) peradilan adat tradisional yang berasal dari Suku Toraja, provinsi Sulawesi Selatan Main Dengan Isteri Ketua Kampung com 1 Jul 2013 | 08:00 pm Masa rakan-rakan blogger bocorkan cerita tentang Firdaus Jaafar akan ceraikan isteri pertamanya kerana kehadiran isteri Penulisakan mencoba menjabarkan sedikit mengenai 4 dari ke-21 naskah cerita rakyat Sulawesi Selatan yang ada. Cerita rakyat yang pertama adalah La-Mellong5, yang dalam ceritanya mengisahkan Raja Bone yang mencari seorang Pabicara6 di dalam pemerintahannya dan raja tersebut mencari seseorang yang bernama La-Mellong. 14 Nenek Pakande. Alkisah, di Soppeng Sulawesi Selatan, dahulu hidup seorang siluman pemangsa anak-anak kecil yang muncul di malam hari. Karena bentuk makhluk ini seperti seorang nenek-nenek, warga menjulukinya Nenek Pakande. Suatu hari, ada seorang anak kecil yang bermain hingga petang. Berdiriterhuyung-huyung, Nenek Pakande bersumpah, "Suatu saat saya pasti kembali! Akan saya pantau anak-anak kalian dari jauh dengan cahaya bulan.". Ia juga berteriak mengancam, "Saya akan memakan anak-anak yang masih berkeliaran di luar rumah saat malam!". Setelah itu, Nenek Pakande pergi entah kemana. CeritaRakyat Sulawesi Selatan - Nenek Pakande. Alkisah di suatu daerah di Soppeng (sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan), terdapatsuatu desa dengan rakyatnya sangat bersahabat, senantiasa hidup tentram, damai, dan sejahtera. Hampir atau bahkan seluruh masyarakat yang tinggal di daerah itu bermata pencaharian sebagai seorang petani. Selanjutnya cerita rakyat Mamasa, yang memuat 20 cerita rakyat, di antaranya "Toiyolona Puang Balabasi Anna Datu Bakka", "Lando Beluek", dan "Culadidi.". Masih ada lagi, cerita rakyat daerah Wajo, misalnya "Buaya Sibawa Tedong", "Nenek Pakande", dan "Pulandok Sibawa Macang.". Sementara, cerita rakyat Toraja, ada 45 di KisahHoror Nenek Pakande | Cerita Rakyat Sulawesi Selatan. Ada lho cerita rakyat yang horor yaitu Kisah Nenek Pakande. Asli cerita rakyat dari Soppeng, Sulawesi Selatan. Semoga banyak pelajaran yang bisa kita petik dari episode ini. 8 min; 12 NOV 2021; Kisah Kancil dan Merak KisahSi Penakluk Rajawali (Cerita dari Sulawesi Selatan) Pada zaman dahulu, ada seorang pemuda tampan dan baik hati yang memiliki kesaktian luar biasa hidup di sebuah kampung. Tidak jauh dari tempat tinggalnya, berdiri sebuah kerajaan yang Makmur. Seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana memimpin kerajaan ini. 5LKlrIV. Makassar - Nenek Pakande adalah salah satu cerita rakyat yang populer di masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis. Dalam cerita rakyat Bugis, Nenek Pakande digambarkan sebagai sosok nenek tua yang suka memakan atau memangsa Pakande berasal dari kata "manre' yang artinya makan. Jadi Pakande bisa diartikan sebagai "si tukang makan".Ada beragam cerita dan versi dari cerita rakyat Nenek Pakande ini. Berikut ini salah satu versi cerita Nenek Pakande dilansir dari buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1999 berjudul "Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan". Dikisahkan, dua orang anak laki-laki bersaudara yang hidup bersama ayah dan ibu tirinya. Si sulung berusia 5 tahun dan si bungsu berusia 2 kedua anak ini bekerja sebagai petani. Ketika berangkat ke kebun, kedua anak ini tinggal bersama dengan ibu ibu tiri mereka memiliki perangai yang jahat dan tidak menyukai kedua anaknya. Kerap kali, mereka tidak diberi makan hingga sang Ayah pulang, barulah si ibu tiri ini menarik anaknya ke dapur dan dia melumuri muka kedua anak itu dengan nasi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada si Ayah, bahwa kedua anak tersebut kerjanya cuma makan sepanjang ayahnya hendak makan, kedua anak itu mendekat meminta makanan karena lapar. Hal ini membuat sang ayah bertanya kepada si ibu tiri apakah anak-anaknya sudah tiri pun berbohong bahwa anak-anak itu tidak berhenti makan."Tidak berhenti-hentinya makan. selalu di dapur saja tinggal, coba lihat, masih ada nasi berlumuran di pipinya," kata ibu setiap hari yang dialami oleh kakak-beradik hari, kedua anak ini sedang bermain bola di depan rumah mereka. Tiba-tiba tanpa sengaja bola yang dimainkan melayang masuk ke dalam rumah dan mengenai ibu tiri pun murka bukan kepalang. Ia berniat untuk membunuh kedua anak tersebut dan memakan si ayah pulang, dibujuknya suaminya untuk turut membunuh sang anak. Dikatakan kepadanya bahwa kedua anak tersebut menjadi semakin nakal dan jahat Ayah pun terpengaruh. Ditariknya kedua anaknya untuk itu disaksikan oleh tetangga mereka. Salah seorang tetangga kemudian menghampiri dan mengatakan kepada suami istri itu agar jangan membunuh anak mereka sendiri di dalam rumah."Biarkanlah saya yang membawanya ke hutan dan membunuhnya. Nanti kedua hatinya akan saya bawa pulang untuk kalian," bujuk tetangga mereka melepas kedua anak tersebut untuk dibawa ke hutan. Sesampainya di tengah hutan, si tetangga merasa iba kepada kedua anak tersebut. Ia meminta anak tersebut untuk pergi membuang diri dan jangan pernah kembali lagi ke rumah tetangga kemudian mengambil hati binatang untuk dibawa anak laki-laki tersebut terus berjalan hingga melewati tujuh bukit dan tujuh gunung. Tak berselang lama, mereka menemukan sebuah rumah tua."Kita singgah di sini dik, kita minta nasi," ujar si sulung pada mendapati rumah tersebut ternyata tidak berpintu. Maka mereka pun langsung masuk. Di dalam rumah itu terlihat tulang belulang berserakan di lantai dan di begitu lapar, mereka mencari sang empunya rumah. Namun tak seorang pun ke dapur mereka melihat berbagai makanan tersimpan di sana. Karena rasa lapar yang begitu mendera, mereka memberanikan diri mengambil makanan dan menyantapnya dengan malam, tiba-tiba terdengarlah suara seperti guntur. Keduanya kaget dan ketakutan."Hmmm... ada yang berbau manusia!," bunyi suara itu saat itu, barulah mereka sadar bahwa itu adalah rumah Nenek Pakande. Sosok makhluk perempuan tua pemakan naik ke rumah, berkatalah Nenek Pakande "Siapakah engkau cucu-cucu?"."Kamilah anak yang tidak beribu. Bapak kami sudah beristri lagi, dan ibu tiri tidak menyukai kami. Terpaksa kami membuang diri. Dan sampailah kami di rumah ini," kata anak-anak itu."Baiklah! Tinggallah kalian di sini cucu-cucu. Kalian jaga rumah ini, sebab saya selalu bepergian," bujuk si Nenek."Sudahkah kalian makan?" lanjutnya."Sudah nek!" jawab anak-anak itu."Makanlah yang banyak supaya cepat besar!" kata si anak itu pelan-pelan mulai tenang. Mereka pun percaya dengan ajakan si Nenek Pakande."Bagaimana ukuran hatimu cucu?" si nenek bertanya lagi."Baru sebesar biji beras, nek," jawab anak-anak itu."Makanlah, makanlah supaya engkau lekas besar!" kata Nenek Pakande dialog yang terjadi setiap hari. Kedua anak itu tinggal di rumah tersebut bersama dengan Nenek selengkapnya di halaman berikut... Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Diminta untuk menuliskan cerita rakyat, saya akhirnya flashback ke masa kecil. Masa dimana saya dan adik-adik saya menjadi anak penurut karena berbagai cerita rakyat yang kami dengar di rumah. Ya, ayah saya suka bercerita karena menurutnya bercerita adalah salah satu jalan agar kami cepat bisa membaca. Sering ada buku yang dipegang beliau, tapi kebanyakan diceritakan langsung sambil rebahan karena kami memang menuju tidur. Saya masih ingat betul juga ketika mama harus keluar kota beberapa hari, cuma ayah yang mengurusi kami. Saat itu masih bertiga karena adik keempat masih belum lahir. Pasca dia lahir, kebiasaan seperti ini sudah tidak dilakukan karena harus pindah rumah. Dan saya diambil sama nenek untuk diasuh dan disekolahkan. Lanjut ke Nenek Pakande... Nenek Pakande kalau diartikan adalah "seorang nenek yang suka makan daging manusia". Nah, kebetulan dalam ceritanya ini, Nenek Pakande sukanya sama anak-anak saja. Kehadirannya kemudian menjadikan masyarakat desa tempat kedatangannya merasa terancam karena anak-anak selalu jadi incaran. Cerita rakyat ini populer di daerah Sulawesi Selatan. Saya berasal dari salah satu kabupatennya yang bernama, Maros. Sebuah kota yang tidak jauh dari ibu kota Makassar dan sangat dekat dengan bandar udara Sultan Hasanuddin. Konon ada anak yang berhasil dibawa Nenek Pakande dan belum pernah dipulangkan. Ya, dimakan begitu menurut ceritanya. Sejak saat itu, semua orang tua menjaga anaknya dengan Cerita Rakyat Nenek Pakande Setelah beranjak usia SMP, saya kemudian menelisik cerita rakyat Nenek Pakande ini. Ternyata memang benar kalau cerita rakyat itu sarat makna dan tujuan agar yang membaca atau mendengar kisahnya menjadi berpikir dengan bijaksana. Nah, menurut saya pribadi cerita Nenek Pakande ini menarik karenaMengajarkan anak-anak untuk masuk ke dalam rumah, apalagi jika petang sudah tiba. Tidak baik keluyuran kesana-kemari. Apalagi bagi yang beragama Islam, masuk waktu petang artinya ada ibadah salat Maghrib yang harus manut dengan orang tua, yang penting dalam hal kebaikan. Jangan sampai menurut jika diajak untuk berbuat salah. Orang tua bisa lebih memperhatikan anak-anak mereka dan mengajaknya untuk memahami bahwa jika sudah menjelang malam, sudah saatnya untuk masuk ke dalam rumah, belajar dan pastinya bersantai dengan keluarga. Tidak keluar rumah di malam hari jika tak ada urusan penting dan mendesakNah, sejak memahami hikmah cerita rakyat Nenek Pakande, sampai sekarang saya masih suka was-was jika keluar rumah pasca waktu Maghrib, apalagi kalau harus membawa anak-anak. Bukan takut ada Nenek Pakande tapi lebih kepada anak-anak jadi terbiasa menjadikan malam untuk bermain yang seharusnya adalah istirahat. 1 2 Lihat Sosbud Selengkapnya Nenek Pakande Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Alkisah di suatu daerah di Soppeng sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan, terdapatsuatu desa dengan rakyatnya sangat bersahabat, senantiasa hidup tentram, damai, dan sejahtera. Hampir atau bahkan seluruh masyarakat yang tinggal di daerah itu bermata pencaharian sebagai seorang petani. Setiap hari mereka berbondong-bondong ke sawah untuk bertani di lahan mereka masing-masing. Pada suatu ketika, desa yang terkenal tentram tersebut terusik oleh seorang nenek tua yang rambutnya berwarna putihmemakai konde di kepalanya, wajah yang keriput, dengan badan yang setengah membungkuk, lalu memakai sarung batik dan kemeja. Sekilas terlihat nenek itu hanyalah seorang nenek tua yang biasa-biasa saja yang sedang mencari tempat tinggal. Tapi siapa yang menyangka bahwa nenek tua itu adalah seorang siluman yang suka memangsa daging manusia terlebihnya daging anak-anak. Dengan karakternya yang dikenal seperti itu, maka warga setempat pun menamai nenek itu dengan sebutan Nenek Pakande diambil dari bahasa Bugis yaitu kata manre yang berarti makan. Biasanya Nenek Pakande itu berkeliaran keliling kampung untuk mencari mangsa pada hari ketika sang fajar sudah mulai tenggelam. Suatu sore saat hari sudah mulai gelap, ada sepasang saudara kakak beradik yang tengah seru bermain di sekitar halaman rumah mereka. “Nak, ayo cepat masuk ke rumah ini sudah malam!” Seru ibunya dari balik pintu. Akan tetapi kedua bersaudara itu sedikit pun tak menghiraukan apa yang diperintahkan oleh ibunya dan kemudian kembali lagi bermain. Mereka hanya memanggap perintah ibunya hanyalah angin yang berhembus begitu saja. Tidak lama kemudian, ibu dari kedua anak itu pun sejenak menghampiri kedua anaknya dan menyuruhnya masuk, tetapi kedua anak itu tetap saja membandel. Dan ibu itu pun kembali masuk ke rumahnya dan membiarkan anak-anaknya bermain. Tanpa ibu itu menyadari bahwa anaknya sedang dipantau dari jarak jauh oleh Nenek Pakande. Melihat suasana yang sangat sunyi, tak ada seorang pun yang berlalu-lalang di sekitar tempat itu, Nenek Pakande mempergunakan waktu itu untuk menculik kedua anak tersebut lalu dijadikannya mangsa. Berselang waktu kemudian, ibu dua orang anak tersebut keluar dan didapatinya kedua anaknya sudah tak ada di tempatnya lagi. Lalu ia mencari ke seluruh penjuru rumahnya tetapi ia tak menemukan anaknya sekali pun. Ia pun bergegas keluar rumah sambil teriak minta tolong. “Tolong…..tolong…..tolong….. Anakku hilang!” dengan suara yang tersedu-sedu sambil menangis. “Ada apa bu? Apa yang terjadi dengan anak ibu?” sapa salah satu warga setempat. Lalu ibu itu pun menceritakan apa-apa yang telah terjadi dengan anak-anaknya kepada bapak itu. Kemudian bapak itu segera memanggil warga untuk membantunya mencari. Lambat laung pun warga sudah terkumpul banyak, siap untuk melakukan pencarian menelusuri kampung-kampung dengan alat penerangan seadanya. Hingga larut malam pun tiba, kedua anak tersebut tak kunjung jua ditemukan. Akhirnya kepala kampung yang memimpin pencarian tersebut meminta pencarian itu dihentikan sementara. Keesokan harinya saat pencarian akan dilakukan kembali, tiba-tiba ada laporan dari seorang warga yang kehilangan bayinya, ketika saat itu orang tua bayi tersebut sedang tertidur nyenyak. Warga setempat pun semakin resah dengan kejadian yang saat ini menimpa desa mereka. Ketika malam tiba para orang tua tidak bisa menutup kedua kelopak matanya karena dihantui rasa cemas. Mereka harus memantau anak-anak mereka serta menjaganya hingga pagi menjemput. Saat para warga berkumpul di suatu titik di desa mereka, mereka menceritakan setiap kekhawatiran yang mereka alami saat malam hari tiba. Mereka bingung, siapa dalang di balik penculikan misterius ini. Seketika ada seorang warga yang mengusulkan untuk pergi ke rumah Nenek Pakande. Karena warga setempat tahu bahwa Nenek Pakande adalah seorang pemangsa anak-anak. “Kenapa kita hanya berdiam diri saja di sini, kenapa kita tidak langsung saja beramai-ramai ke rumah Nenek Pakande itu? Karena besar kemungkinan dia yang telah menculik anak-anak yang ada di desa kita.” “Hei, bukankah Nenek Pakande itu adalah seseorang yang sangat sakti, karena dia memiliki kekuatan gaib yang sulit untuk ditaklukkan.” Tentang salah seorang warga lainnya. “Ya benar juga, Nenek Pakande adalah seorang siluman yang sangat sakti, tak ada seorang manusia biasa pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya. Setauku Nenek Pakande hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Tetapi sekarang entah di mana raksasa itu berada. Kabar serta seluk beluk tubuhnya pun tak pernah lagi terdengar dan terlihat.” Jawabnya seorang warga lagi. Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah sesosok raksasa yang tingginya diperkiran 7 hasta dengan badan yang sangat besar, dia juga suka memakan daging manusia. Akan tetapi dia adalah raksasa yang baik hati, hanya memakan manusia yang bersifat buruk dan manusia yang tidak disukainya. “Lantas apa yang harus kita perbuat sekarang untuk memusnahkan Nenek Pakande itu?” melanjutkan pertanyaan. Tak seorang pun dari mereka yang ingin angkat bicara, suasana saat itu tiba-tiba menjadi diam, penuh kecemasan dan kekhawatiran, dan mereka kebingungan tentang masalah itu. Di tengah-tengah kecemasan tersebut, seorang pemuda yang berdiri di tengah-tengah sekumpulan warga pun angkat bicara. Pemuda tersebut bernama La Beddu, dia adalah pemuda yang cerdik, pandai, lagi berani. Dia dikenal warga sebagai pemuda yang ramah, taat beribadah, dan suka membantu orang yang sedang tertimpa masalah. “Maaf para warga-warga desa jika saya lancang, tapi saya punya suatu cara untuk mengenyahkan Nenek Pakande dari desa kita.” Suasana pun menjadi hening seketika. Timbullah ribuan harapan yang tertimbun di dalam diri setiap warga, tapi tidak sedikit pula warga yang memandangnya sebelah mata dengan pandangan yang merendahkan, karena mereka tidak yakin bahwa La Beddu bisa mengalahkan Nenek Pakande. “Hai La Beddu, apa kuasamu? Kamu hanyalah pemuda biasa yang tidak memiliki kesaktian sedikit pun, dibandingkan dengan Nenek Pakande yang kesaktiannya sangat kuat.” Jawab seorang warga selaku merendahkan. La Beddu kemudian diam dan tersenyum dan melanjutkan pembicaraan dengan nada yang tenang. “Tidak selamanya kesaktian harus dilawan dengan kesaktian pula. Kita sebagai manusia diberi akal untuk berfikir.” Jelas La Beddu. “Apa sekiranya maksudmu itu La Beddu? Apakah kamu tak takut sedikit pun dengan Nenek Pakande?” Tanya warga tersebut sekali lagi. “Maksud saya, kita bisa melawan Nenek Pakande tidak harus ketika kita memiliki kesaktian yang kuat. Kita bisa melawannya dengan akal cerdik kita. Jika kita saling bahu membahu melawannya, yakinlah bahwa kita bisa mengenyahkannya. Maka dari itu siapkan saya beberapa ekor belut dan kura-kura, salaga garu, busa sabun satu ember, kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar. Dan setelah itu kumpulkanlah semua hewan dan benda-benda itu di rumah saya.” Seru La Beddu. “Untuk apa hewan beserta benda-benda tersebut La Beddu?” Tanya warga lainnya. “Nantilah kalian mengetahuinya setelah apa yang ku perintahkan telah terkumpul semua di rumahku.” Jawab La Beddu. Seketika pun warga membubarkan diri mereka masing-masing dan segera mencari apa yang diperintahkan oleh La Beddu. Ada yang mencari belut di sawah-sawah, kura-kura di sungai, dan yang lainnya sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember. Setelah semuanya terkumpul, barulah mereka menuju ke rumah La Beddu dan mengumpulkan semua apa yang telah diperintahkannya. “Hai La Beddu, sekarang jelaskan kepada kami apa guna barang yang telah engkau suruhkan kepada kami!” seru seorang warga. La Beddu pun kemudian menjelaskan apa guna dari barang-barang tersebut. Selaga akan dia jadikan menyerupai sisir dan kura-kura sebagai kutu raksasa. Busa sabun ia akan jadikan menyerupai air liur, kulit rebung sebagai terompet atau pembesar suara agar menyerupai suara besar seorang raksasa. Adapun belut dan batu besar akan di tempatkan di depan pintu dan di bawah tangga. Itu semua aku perintahkan agar kita bisa mengelabui Nenek Pakande dengan menyamar sebagai raksasa. Pada siang hari, La Beddu beserta warga pun menyusun rencana untuk mengelabui Nenek Pakande. Dua orang utusan warga diperintahkan untuk menaruh belut dan batu besar di depan pintu dan di bawah tangga kemudian bersembunyi di bawah rumah panggung. Setelah matahari sudah mulai tak nampak lagi dan hari sudah mulai gelap, para warga mengunci rapat-rapat pintu mereka dan memadamkan lampu pelita mereka. Ini adalah sebagian dari rencana La Beddu karena ada sebuah rumah yang terletak paling ujung di perkampungan mereka yang dinamakan Balla Raja, rumah itu adalah rumah panggung yang sangat besar. Di rumah itu diberikan cahaya lampu yang paling terang agar Nenek Pakande tersebut terpancing dan menuju ke rumah itu. Salah satu umpan yang lain adalah di taruhnya anak bayi di dalam suatu kamar tetapi dalam pengawasan ketat warga setempat. Sementara La Beddu bersembunyi di atas genteng. Malam itu adalah malam Jum’at, di mana sinar rembulan sangat terang. Saat Nenek Pakande sudah mulai berkeliaran, dia heran mengapa semua lampu tak ada satu pun yang menyala keculai rumah yang bernama Balla Raja. Nenek Pakande pun menghampiri rumah tersebut. Beberapa saat kemudian setelah Nenek Pakande tiba di depan pintu yang sangat besar dia mencium aroma seorang bayi dari dalam rumah tersebut. Tanpa berpikir panjang, Nenek Pakande pun masuk ke dalam rumah tersebut. Tanpa sepengetahuan Nenek Pakande, 2 orang pemuda tersebut melaksanakan tugasnya dan kembali bersembunyi. Ketika dia berhadapan dengan pintu kamar yang sangat tinggi dan besar, Nenek pakande pun semakin merasakan aroma bayi tersebut. Seketika muncullah suara misterius yang menyapa Nenek Pakande. “Hei Nenek Pakande, apa gerangan yang membuat engkau datang ke mari?” Tanya La Beddu yang menyamar sebagai raksasa besar Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. “Saya ingin mengambil bayi yang ada dibalik pintu besar itu. Siapa kamu?” jawab Nenek Pakande. “Saya Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, dan saya ingin kamu pergi dari desa ini sejauh mungkin karena sudah meresahkan warga setempat.” Ujar sang raksasa. “Ahh, saya tidak percaya jikalau kamu ada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.” Jawab Nenek Pakande dengan menambah beberapa langkah kakinya selaku mengacuhkan. La Beddu pun menumpahkan seember busa sabun yang dipakainya untuk mengelabuhi Nenek Pakande sebagai air liur raksasa. Lalu memperdengarkan suara mengaumnya. “Aku lapar Nenek Pakande, lihatlah air liurku sudah mengalir. Jika kau tak segera enyah dari hadapanku, maka kau akan menjadi santapanku.” Dengan dihantui rasa cemas, Nenek Pakande pun berkata lagi, “Hihihi, saya tidak percaya denganmu, pasti kamu hanyalah orang biasa yang menyamar sebagai Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.” La Beddu pun menjatuhkan selaga yang dibuatnya menyerupai sisir yang besar dan kura-kura secara beruntung. “Ah.. Kutu ini banyak menggangguku dan membuat kepalaku gatal saja.” Kata Sang Pemuda yang mengaum. “ Nenek Pakande, kau jangan membuatku jadi lebih marah lagi.” Lanjut La Beddu. Melihat kura-kura dan selaga yang jatuh ke lantai, membuat nyali Nenek Pakande akhirnya ciut juga. Tanpa menunggu lama, Nenek pakande pun lari menuju pintu keluar. Tanpa dilihatnya, dia menginjak seekor belut dan terpeleset jatuh hingga anak tangga yang paling akhir dan kepalanya terbentur pada batu besar yang telah disiapkan. Tetapi Nenek Pakande tetap memaksakan diri untuk bangkit kembali. Dengan kesaktiannya, Nenek Pakande pun terbang ke bulan. Dan sebelum terbang ke bulan, Nenek Pakande meninggalkan suatu pesan “Saya akan memantau anak kalian dari atas sana dengan cahaya rembulan di malam yang sangat gelap. Dan suatu saat nanti saya akan kembali memangsa anak-anak kalian.” Maka dari itu, orang tua sekarang banyak yang menasehati anaknya jangan keluar jika sudah malam, nanti kalian di makan Nenek Pakande. Sekian cerita rakyat ini dapat saya sampaikan. Semoga cerita rakyat ini dapat menambah khazanah cerita rakyat yang kitamiliki. Sampai jumpa di cerita rakyat selanjutnya. Cerita rakyat ini disadur kembali dari tempat ini

cerita rakyat sulawesi selatan nenek pakande